Masalah dan Dilema

Selama tidak ada dilema, biasanya masalah apapun mudah diselesaikan secara logis. Jika banyak dilema, maka masalah seolah semakin besar dan nyata. Dilema dan kontradiksi.

Jika satu waktu kapal yang Anda tumpangi tenggelam, siapa yang Anda selamatkan? Cuma bisa bawa satu saja bro! Ibu? Anak? Pacar gelap? Tetangga yang bawel? Baiklah ini contoh dilema. Ingin selamatkan semua tapi hanya bisa satu dan mesti memilih. Memilih ibu, Anda kehilangan tetangga cerewet. Memilih anak, Anda bisa dicap anak durhaka πŸ™‚

Membagi dilema jadi bagian-bagian kecil jauh lebih susah. Hasil yang peroleh juga sering tidak pas. Mungkin dilema bukan untuk dibagi. Otak manusia susah untuk mengolah kontradiksi. Inginnya sesuatu yang jelas. Jika Anda benci A dan cinta B, maka mudah untuk menentukan pilihan. Tapi jika cinta mesti memilih, ini bisa jadi masalah.

Memang hidup sering penuh dilema. Padahal naik kapal saja jarang 😁.

Secara moral, saat penuh dilema, ini saat kebebasan memilih tanpa konsekuensi salah. Secara etis Anda mungkin diserang sesuai aturan atau kebiasaan tertentu bagaimana harusnya.Tapi menurut saya, selama Anda sadar melakukan yang terbaik, pilih saja salah satu. Habis gitu tinggal ngopi saja πŸ™‚

Sekolah / universitas jarang memberi dilema sebagai bahan ajar. Problem yang mesti dipecahkan terlalu jelas batas hitam putihnya. Bermain di area Abu-abu tidak masuk akal karena logika butuh kepastian. Bermain perasaan juga dianggap remeh. Omong soal insting juga aneh dalam lingkungan akademik. Semua mesti jelas dan masuk akal.

Formula problem solving mesti bisa direproduksi alias diterapkan di sistem kecerdasan buatan. Lotfi Zadeh mengenalkan Fuzzy Logic untuk mengatasi kelemahan logika biner yang cuma punya kondisi “True” or “False”. Pemikiran Para pakar juga direproduksi untuk kepentingan analisa dan pengambilan keputusan.

Jika Anda memberikan dilema pada sistem komputasi cerdas, maka jawaban yang diberikan tanpa disertai keraguan sedikitpun. Juga tanpa rasa bersalah. Itu yang membedakan manusia dan mesin. Memberikan kerangka moral pada satu mesin jadi tantangan sendiri. Trus apakah perlu? Apakah Drone yang bawa rudal Hellfire akan tetap meluncur jika target teroris naik mobil bersama pacar dan ibunya yang tak berdosa? Dilema, karena mencari teroris ini susah setengah mati.

Memberikan Definisi “IF Then Else” untuk pengambilan keputusan kompleks terlalu kasar dan tidak membawa hasil menggembirakan. Itu untuk level dasar saja.

Kembali ke manusia yang manusiawi. Menghadapi dilema, urusan etika dan moral punya pengaruh besar dan kadang tidak masuk akal. Bisa jadi dalam kondisi yang sama, keputusan A bisa beda dengan B. Dalam tradisi patriaki yang dominan, menyelamatkan anak laki lebih dihargai saat kapal tenggelam. Tapi jika Anda bertanya pada Kahlil Gibran, maka seorang ibu tak tergantikan. Pacar bisa cari lagi, anak bisa bikin lagi juga.

Jika masalah dan dilema bisa menghasilkan keputusan yang berbeda, maka menentukan yang terbaik adalah tantangan bagi seorang manusia.

Saya ulangi pendapat saya soal ini :

Secara moral, saat penuh dilema, ini saat kebebasan memilih tanpa konsekuensi salah. Ambil keputusan, trus tinggal ngopi saja πŸ™‚

Peace!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s