Vim adalah teks editor jadul (yach 31 tahun lalu muncul) yang free & open source. Sedang Tmux adalah terminal multiplekser. Jadi satu layar terminal bisa dibagi jadi 3 atau 5 terminal dengan rapi. Istimewanya, baik Vim maupun Tmux jalan di mode teks lol.
Dari terminal, Anda dapat memulai Vim untuk mengedit script konfigurasi, membuat program Python, utak-atik C, menulis surat cinta…eh maap.
Jika satu terminal untuk memonitor resource, satu untuk mengedit script, satu lagi untuk kompile, satu lagi untuk eksplore tree, disinilah Tmux befungsi.

Alasan terbaik penggunaan aplikasi di atas adalah : kondisi kerja sering tidak mewah. Remote shell terminal misalnya. Ini realita yang 97% diyakini tukang sapu (ruang server). Tapi berlaku sama bagi homebrewer miskin dengan peralatan tempur seadanya.
Akses terminal adalah hal utama. Jika seorang sys admin tidak punya terminal, ibaratnya bagai bebek lumpuh hehe. Ini berlaku penuh di dunia Linux.
Dari bebek lumpuh, Anda akan merasa seperti ”Superman” jika bermain di Terminal. Apalagi punya akses root. Yach #rm -rf / maka segala keangkuhan akan runtuh. Atau incip-incip :(){ :|:& };:
hehe bercanda!
Walau sudah tahun 2023, aplikasi jadul (tapi powerful) ini tetap punya banyak fans diehard. Dari manusia berambut putih sampai generasi Z (yang hobby selfie) saya yakin banyak yang pakai.


Sebagai penutup perlu diingat, tools atau aplikasi hanya sarana mencapai tujuan. Pakai apa saja yang cocok & sesuai. Anggap saja tulisan ini untuk hiburan + menambah wawasan :).