Entah kenapa lagi malas ambil foto gunung yang sembunyi di balik kabut. Udah ditinggal ngopi saja hehehe. Memaksa untuk melukis gunung yang gak jelas, hasilnya amburadul. Mungkin beberapa hari terakhir intens pegang solder, jadi kacau balau saat pegang kuas. Mungkin juga pikiran lagi melayang-layang gak jelas. Seperti ini tulisan yang gak jelas juga 🙂
Meski gak jelas, udah ketik saja mau nulis apa. Paling gak saat itu ketemu sama masyarakat Tengger. Yach bertepatan sama Hari Sumpah Pemuda, ada acara unjuk seni para seniman lukis. Mereka datang dari mana-mana. Karena pakai pakaian adat, ini jadi kejadian yang menghibur.
Mereka ikut serta acara resmi pakai pakaian adat. Sedang saya pakai celana pendek sama kaos saja hehehe. Itu juga pakaian adat buat kluyuran . Meski diri ini pakai pakaian sekenanya saja, tapi mata ini menikmati keindahan pakaian yang dipakai. Kata orang bijak, pakaian jelek gak bisa nutupi hati yang baik. Begitu juga pakaian yang indah, gak bisa nutupi hati yang busuk. Yach itu buat yang bisa melihat dengan indera ke-7 hehehe.
Apa yang saya lihat dari pakaian? Yach hanya menikmati saja. Kalaupun bagus, juga dinikmati saja, gak bisa diomongkan atau didefinisikan. Mungkin ini seperti melihat lukisan yang bagus (nurut saya), yach ada rasa gimana gitu. Kalau dipaksa buat diterjemahkan jadi kata ya jadi kata yang formal.
Aslinya cuek sekali soal pakaian, tapi inilah karmanya : Apakah pemancar sama Antena match dengan nilai Standing Wave Ratio 1:1.1 ? Maksudnya apakah pakaian sama orang yang makai itu beresonansi biasanya bisa dirasakan dari radius mata memandang hehehe.
Tentu ini rasa yang subyektif sekali dan sering saya abaikan. Kenapa mesti urus pakaian punya orang? Itu hak mereka mau pakai model gimana. Biar beda-beda supaya bikin hidup ini tidak membosankan.